Sunday, March 4, 2012

BERSANTAI ITU SEHAT


Orang yang suka duduk santai dianggap pemalas. Ternyata menurut penelitian, sikap agak santai bukanlah perbuatan mubazir.

Mungkin Anda sudah tertidur sebelum membaca artikel ini. Soalnya, hari ini hari libur. Anda bersantai di kursi malas dan tidak ada pekerjaan penting yang mendesak. Setelah membaca beberapa alinea, mata Anda terasa berat. Rasanya lebih nikmat tidur daripada membaca.
Setiap orang pasti pernah dihinggapi rasa malas. Umumnya, urusannya sepele saja. Misalnya malas membereskan kamar, membuat pekerjaan rumah, dan sebagainya. Kemalasan dianggap identik dengan menganggur. Kebalikannya adalah bekerja. Pekerjaan merupakan hal penting dalam masyarakat. Buktinya, pertanyaan pertama yang diajukan kepada orang yang baru kita kenal adalah: “Anda bekerja di mana?”. Nilai seseorang sering ditentukan dari kesibukannya, karena itu menganggur menjadi momok bagi kebanyakan orang. Bukan hanya karena menganggur berarti tidak berpenghasilan dan tidak ada kontak sosial, tetapi karena penganggur dianggap sebagai parasit.
Anehnya, bekerja dalam kebudayaan barat juga mempunyai konotasi tambahan. Bekerja, menurut Kisah Kejadian, merupakan ganjaran. Setelah diusir dari Firdaus, Adam harus bekerja untuk memperoleh makan. Kerja mendapat bentuk yang lebih jelas beberapa waktu kemudian. Orang Kalvinis bekerja supaya waktu di bumi tidak dihamburkan, walau cuma semenit. Itu berarti orang harus bekerja enam hari dalam seminggu. Pada hari Minggu orang boleh bersantai dan berdoa. Mereka mendapatkan banyak uang, tetapi mereka tidak mau mengeluarkan sepeser pun untuk kejahatan. Mereka menganggap kekayaan sebagai hadiah dari Tuhan.

Biarpun demikian, kemalasan pernah dianggap ideal. Dulu, orang Yunani dan Romawi menganggap pekerjaan tangan dan pekerjaan buruh rendah sekali. Pekerjaan itu adalah tugas budak belian. Herodotus menulis: “Saya tidak tahu apakah orang Yunani tertulari sifat menganggap rendah pekerjaan itu dari orang Mesir. Soalnya, sikap itu juga ditemukan pada orang Thracisia, Scyth, Parsi, Lydier.”

Satu menit 52,6 detik atau 75 detik
Orang bebas berfilsafat dan menikmati hidupnya. Sikap malas bukan hal yang tercela. Walaupun begitu, seorang filsuf Seneca berpendapat lain. Ia mempunyai banyak uang dan budak belian, tetapi ia tidak hidup santai. Ia menganggap tugasnya adalah memanfaatkan waktu sebaik mungkin. “Segala sesuatu bukan milik kita, kecuali waktu,” katanya.
Sebenarnya, kita sendirilah yang menentukan sikap kita terhadap kemalasan. Penelitian menunjukkan bahwa Workalcoholics (orang yang kecanduan bekerja) mempunyai gagasan bahwa satu menit hanya berlangsung 52,6 detik. “Orang normal” malahan mengira bahwa satu menit lebih lama lagi, yakni 75 detik. Yang satu merasa dirinya terus diburu waktu sedangkan yang lain santai-santai saja. Motto yang penting bagi kelompok kedua adalah: “Jangan lakukan sekarang pekerjaan yang bisa ditunda sampai besok”. Itulah mentalitas yang menarik perhatian orang Eropa Utara kalau pergi ke daerah selatan.
Seperti yang sudah disebut di atas, Kalvinisme memegang peranan di Eropa Utara. Di negara sekitar Laut Tengah, orang tidak selalu terdorong untuk “memanfaatkan” hari sebaik mungkin. Sikap santai itu dianggap “malas”, padahal itu hanya soal relatif. Setelah bekerja keras sehari, orang Eropa Utara bersantai di depan televisi, orang Italia justru berjalan-jalan. Tempo yang berbeda dan pembagian hari yang lain tidak bisa memberi petunjuk banyak tentang malas dan rajin.
Menurut psikolog Amerika, 95% teman senegaranya berusaha menangguhkan pekerjaan. Padahal di Amerika menyelesaikan pekerjaan cepat dan baik dianggap penting. Menangguhkan pekerjaan merupakan gejala rumit; sementara kemalasan hanya memegang peran yang kecil.
Orang yang suka berlama-lama mungkin bukan orang malas tetapi perfeksionis. Mereka mau bekerja keras, tetapi tidak suka melakukan sesuatu secara setengah-setengah. Karena itu mereka tidak suka melakukan barang yang mudah. Sebaliknya, mereka secara tidak sadar menangguhkan pekerjaan karena mereka suka menyelesaikan sesuatu pada saat terakhir. Namun kebanyakan, orang yang lamban terlalu memikirkan sesuatu secara detil, mereka merasa memerlukan waktu lebih banyak daripada yang sebenarnya.
Contoh orang seperti itu ialah Adolf Hitler. Ia ingin memberi kesan bahwa dia Fuehrer rakyat Jerman yang dinamis. Ia menghamburkan waktu untuk berkhayal dan berbicara mengenai rencana masa depan, tentang “kerajaan 1000 tahun”. Akibatnya, tugas pemerintahan sehari-hari terbengkalai. Hitler juga merasa dirinya terpanggil untuk terus bepergian. Sebetulnya itu merupakan pelarian dari tanggung jawab politik.
Pada kenyataannya, Hitler malas luar biasa. Setiap hari ia bangun siang hari, berjam-jam ia habiskan di meja makan. Malam hari ia menonton dua film berturut-turut dan membaca beberapa naskah. Pembantu terdekatnya tidak bisa tidur karena diajak ngobrol. Salah seorang menterinya, Albert Speer, kemudian mengatakan: “Saya bertanya-tanya, kapan ia bekerja?”
Rekan sejawat Hitler dari Italia, Benito Mussolini, juga mempunyai gaya hidup seperti itu. Diktator Rusia, Josif Stalin, juga lebih menyukai malas daripada lelah. Mungkin Stalin ingin menunjukkan kepada rakyatnya gaya hidup masyarakat komunis yang akan menjadi kenyataan. Dalam masyarakat tanpa kelas yang akan tercipta, semua orang sama dan tidak perlu lagi bekerja untuk mencari nafkah.
Secara teratur mereka menandaskan bahwa tujuan komunisme ialah menciptakan firdaus di Bumi. Di dalam agama Kristen ada yang berpendapat “Babilon duniawi” dengan segala macam kesulitan, penipuan dan penindasan akan diganti dengan “Jerusalem baru”. Orang tidak perlu bekerja keras dan berkeringat. Tuhan akan mengurus segala-galanya. Dalam filsafat Cina keadaan ideal disebut wu wei (tidak bekerja). Orang harus mengikuti keinginan dasar dan tidak melakukan sesuatu yang bisa mengacaukan keadaan. Rupanya, setiap orang mendambakan kemalasan dan ketenangan. Berbahagialah orang yang malas (Leo Polak)


Apakah kita cukup malas?

Bentuk kemalasan tertinggi ialah tidur. Namun, waktu itu harus dimanfaatkan dengan baik. Selama masa istirahat tubuh kita pulih dari semua kesibukan dan jiwa bisa “mengolah” pengalaman hari itu dengan bermimpi. Biarpun demikian, tidak semua pola tidur baik. Selama ini para ilmuwan hanya meneliti istirahat malam hari padahal tubuh juga memerlukan istirahat di siang hari. Beberapa kali sehari (sekitar empat jam), kita merasa mengantuk. Biasanya hal ini terjadi setelah makan siang. Itu disebabkan isi perut kita sibuk mencernakan makanan dan bagian tubuh yang lain tidak mendapatkan suplai darah dan zat asam yang cukup.
Di Eropa Selatan seperti Italia dan Spanyol ada kebiasaan siesta (tidur siang). Setelah makan siang, sampai pukul empat sore, toko dan kantor tutup; kehidupan umum sedikit terhenti. Semua orang mendapat kesempatan bersantai. Kebiasaan itu sering dihubungkan dengan suhu; tetapi di musim dingin pun pembagian hari itu tetap dipertahankan. Orang yang berpikiran “modern” selalu berusaha untuk menyisihkan kebiasaan itu, tetapi tidak pernah berhasil. Orang sering berusaha meniadakan siesta, tetapi siesta didukung oleh para peneliti ilmiah. Apa salahnya kalau kita juga tidur siang?


Detil Artikel : dari majalah Sigma no. 32

Apa sih yang dimaksud dengan mamihlatinatapai?

Di siang yang panas, udara di dalam kamar terasa tak tertahankan. Padahal pintu dan jendela sudah dibuka lebar-lebar. Andi yang sedang berba...