Orang yang suka duduk
santai dianggap pemalas. Ternyata menurut penelitian, sikap agak santai
bukanlah perbuatan mubazir.
Mungkin Anda sudah tertidur sebelum membaca artikel ini.
Soalnya, hari ini hari libur. Anda bersantai di kursi malas dan tidak ada
pekerjaan penting yang mendesak. Setelah membaca beberapa alinea, mata Anda
terasa berat. Rasanya lebih nikmat tidur daripada membaca.
Setiap orang pasti pernah
dihinggapi rasa malas. Umumnya, urusannya sepele saja. Misalnya malas
membereskan kamar, membuat pekerjaan rumah, dan sebagainya. Kemalasan dianggap
identik dengan menganggur. Kebalikannya adalah bekerja. Pekerjaan merupakan hal
penting dalam masyarakat. Buktinya, pertanyaan pertama yang diajukan kepada
orang yang baru kita kenal adalah: “Anda bekerja di mana?”. Nilai seseorang
sering ditentukan dari kesibukannya, karena itu menganggur menjadi momok bagi
kebanyakan orang. Bukan hanya karena menganggur berarti tidak berpenghasilan
dan tidak ada kontak sosial, tetapi karena penganggur dianggap sebagai parasit.
Anehnya, bekerja dalam kebudayaan
barat juga mempunyai konotasi tambahan. Bekerja, menurut Kisah Kejadian,
merupakan ganjaran. Setelah diusir dari Firdaus, Adam harus bekerja untuk
memperoleh makan. Kerja mendapat bentuk yang lebih jelas beberapa waktu
kemudian. Orang Kalvinis bekerja supaya waktu di bumi tidak dihamburkan, walau
cuma semenit. Itu berarti orang harus bekerja enam hari dalam seminggu. Pada
hari Minggu orang boleh bersantai dan berdoa. Mereka mendapatkan banyak uang,
tetapi mereka tidak mau mengeluarkan sepeser pun untuk kejahatan. Mereka
menganggap kekayaan sebagai hadiah dari Tuhan.
Biarpun demikian, kemalasan
pernah dianggap ideal. Dulu, orang Yunani dan Romawi menganggap pekerjaan
tangan dan pekerjaan buruh rendah sekali. Pekerjaan itu adalah tugas budak belian.
Herodotus menulis: “Saya tidak tahu apakah orang Yunani tertulari sifat
menganggap rendah pekerjaan itu dari orang Mesir. Soalnya, sikap itu juga
ditemukan pada orang Thracisia, Scyth, Parsi, Lydier.”
Satu menit 52,6 detik
atau 75 detik
Orang bebas berfilsafat dan menikmati hidupnya. Sikap malas
bukan hal yang tercela. Walaupun begitu, seorang filsuf Seneca berpendapat
lain. Ia mempunyai banyak uang dan budak belian, tetapi ia tidak hidup santai.
Ia menganggap tugasnya adalah memanfaatkan waktu sebaik mungkin. “Segala
sesuatu bukan milik kita, kecuali waktu,” katanya.
Sebenarnya, kita sendirilah yang
menentukan sikap kita terhadap kemalasan. Penelitian menunjukkan bahwa Workalcoholics (orang yang kecanduan
bekerja) mempunyai gagasan bahwa satu menit hanya berlangsung 52,6 detik.
“Orang normal” malahan mengira bahwa satu menit lebih lama lagi, yakni 75
detik. Yang satu merasa dirinya terus diburu waktu sedangkan yang lain
santai-santai saja. Motto yang penting bagi kelompok kedua adalah: “Jangan lakukan
sekarang pekerjaan yang bisa ditunda sampai besok”. Itulah mentalitas yang
menarik perhatian orang Eropa Utara kalau pergi ke daerah selatan.
Seperti yang sudah disebut di
atas, Kalvinisme memegang peranan di Eropa Utara. Di negara sekitar Laut
Tengah, orang tidak selalu terdorong untuk “memanfaatkan” hari sebaik mungkin.
Sikap santai itu dianggap “malas”, padahal itu hanya soal relatif. Setelah
bekerja keras sehari, orang Eropa Utara bersantai di depan televisi, orang
Italia justru berjalan-jalan. Tempo yang berbeda dan pembagian hari yang lain
tidak bisa memberi petunjuk banyak tentang malas dan rajin.
Menurut psikolog Amerika, 95%
teman senegaranya berusaha menangguhkan pekerjaan. Padahal di Amerika
menyelesaikan pekerjaan cepat dan baik dianggap penting. Menangguhkan pekerjaan
merupakan gejala rumit; sementara kemalasan hanya memegang peran yang kecil.
Orang yang suka berlama-lama
mungkin bukan orang malas tetapi perfeksionis. Mereka mau bekerja keras, tetapi
tidak suka melakukan sesuatu secara setengah-setengah. Karena itu mereka tidak
suka melakukan barang yang mudah. Sebaliknya, mereka secara tidak sadar
menangguhkan pekerjaan karena mereka suka menyelesaikan sesuatu pada saat
terakhir. Namun kebanyakan, orang yang lamban terlalu memikirkan sesuatu secara
detil, mereka merasa memerlukan waktu lebih banyak daripada yang sebenarnya.
Contoh orang seperti itu ialah
Adolf Hitler. Ia ingin memberi kesan bahwa dia Fuehrer rakyat Jerman yang dinamis. Ia menghamburkan waktu untuk
berkhayal dan berbicara mengenai rencana masa depan, tentang “kerajaan 1000
tahun”. Akibatnya, tugas pemerintahan sehari-hari terbengkalai. Hitler juga
merasa dirinya terpanggil untuk terus bepergian. Sebetulnya itu merupakan
pelarian dari tanggung jawab politik.
Pada kenyataannya, Hitler malas
luar biasa. Setiap hari ia bangun siang hari, berjam-jam ia habiskan di meja
makan. Malam hari ia menonton dua film berturut-turut dan membaca beberapa
naskah. Pembantu terdekatnya tidak bisa tidur karena diajak ngobrol. Salah
seorang menterinya, Albert Speer, kemudian mengatakan: “Saya bertanya-tanya,
kapan ia bekerja?”
Rekan sejawat Hitler dari Italia,
Benito Mussolini, juga mempunyai gaya hidup seperti itu. Diktator Rusia, Josif
Stalin, juga lebih menyukai malas daripada lelah. Mungkin Stalin ingin
menunjukkan kepada rakyatnya gaya hidup masyarakat komunis yang akan menjadi
kenyataan. Dalam masyarakat tanpa kelas yang akan tercipta, semua orang sama
dan tidak perlu lagi bekerja untuk mencari nafkah.
Secara
teratur mereka menandaskan bahwa tujuan komunisme ialah menciptakan firdaus di
Bumi. Di dalam agama Kristen ada yang berpendapat “Babilon duniawi” dengan
segala macam kesulitan, penipuan dan penindasan akan diganti dengan “Jerusalem
baru”. Orang tidak perlu bekerja keras dan berkeringat. Tuhan akan mengurus
segala-galanya. Dalam filsafat Cina keadaan ideal disebut wu wei (tidak bekerja). Orang harus mengikuti keinginan dasar dan
tidak melakukan sesuatu yang bisa mengacaukan keadaan. Rupanya, setiap orang
mendambakan kemalasan dan ketenangan. Berbahagialah orang yang malas (Leo Polak)
Apakah kita cukup
malas?
Bentuk kemalasan tertinggi ialah tidur. Namun, waktu itu
harus dimanfaatkan dengan baik. Selama masa istirahat tubuh kita pulih dari
semua kesibukan dan jiwa bisa “mengolah” pengalaman hari itu dengan bermimpi.
Biarpun demikian, tidak semua pola tidur baik. Selama ini para ilmuwan hanya
meneliti istirahat malam hari padahal tubuh juga memerlukan istirahat di siang
hari. Beberapa kali sehari (sekitar empat jam), kita merasa mengantuk. Biasanya
hal ini terjadi setelah makan siang. Itu disebabkan isi perut kita sibuk
mencernakan makanan dan bagian tubuh yang lain tidak mendapatkan suplai darah
dan zat asam yang cukup.
Di Eropa Selatan seperti Italia
dan Spanyol ada kebiasaan siesta
(tidur siang). Setelah makan siang, sampai pukul empat sore, toko dan kantor
tutup; kehidupan umum sedikit terhenti. Semua orang mendapat kesempatan
bersantai. Kebiasaan itu sering dihubungkan dengan suhu; tetapi di musim dingin
pun pembagian hari itu tetap dipertahankan. Orang yang berpikiran “modern”
selalu berusaha untuk menyisihkan kebiasaan itu, tetapi tidak pernah berhasil.
Orang sering berusaha meniadakan siesta,
tetapi siesta didukung oleh para
peneliti ilmiah. Apa salahnya kalau kita juga tidur siang?
Detil Artikel : dari majalah Sigma no. 32