Bila ingat pelawak Us Us, pasti ingat pula peniti besarnya. Tapi ia
bukan orang pertama yang mengenakan peniti besar. Konon di makam kuno Mesir
banyak ditemukan peniti dengan ukuran yang bervariasi – dari 5 cm sampai ada
yang panjangnya mencapai 20 cm. Selain panjang, peniti itu juga memiliki pola
yang sangat rumit dan terbuat dari bahan-bahan yang mahal.
Lahirnya peniti di dunia, menurut dugaan,
berhubungan erat dengan munculnya kebutuhan menyemat pakaian. Peniti, bila
dirunut dari sebutannya adalah bahasa Inggris, pin, berakar dari bahasa latin, pinna,
artinya bulu. Besar kemungkinan, peniti tertua adalah belahan dari tulang bulu
burung untuk menjepit atau menyemat.
Diperkirakan sejak 20.000 tahun silam orang mulai
menggunakan benda ini. Peniti-peniti dari masa prasejarah itu biasanya terbuat
dari tulang, kayu, dan duri. Salah satu bangsa yang tercatat memakai peniti
bermateri itu adalah masyarakat Meksiko kuno. Mereka lebih memilih menggunakan
duri agave (Agave americana) sejenis tanaman lidah buaya di wilayah Meksiko –
dibandingkan dengan peniti besi. Demikian juga masyarakat Inggris yang hingga
abad XVI lebih menyukai batang tusukan dari kayu yang masih diserut kasar,
ketimbang peniti emas, perak, atau perunggu.
Selanjutnya, muncul fase peniti besi. Kelompok masyarakat
yang terkenal dengan penti yang sudah serupa dengan peniti modern adalah
masyarakat Yunani dan Romawi. Peniti mereka disebut fibulae.
Ada kisah unik di wilayah Inggris. Kebutuhan masyarakatnya
akan peniti dipenuhi melalui impor peniti dari Eropa Daratan. Padahal di
wilayah lain, misalnya Prancis pada abad XV masyarakatnya telah mampu membuat
peniti dari kawat besi yang dibengkok-bengkokkan. Impor itu berlangsung sampai
tahun 1483 saat terbit statuta pelarangan impor peniti. Selanjutnya malah
muncul Undang-Undang Parlemen tahun 1543 yang mengatur penjualan jenis peniti. Misalnya, disebutkan peniti harus punya dua
kepala dengan salah satu kepala dilas kuat pada batangnya. Permukaan batang
harus halus dan bulat, dan berujung runcing. Tepat tiga tahun sejak saat itu
Inggris mulai memproduksi peniti sendiri.
Produksi ini meningkat menjadi besar. Pada 1626 di
Gloucester saja usaha itu sampai mempekerjakan 1.500 orang. Usaha serupa
didirikan di London pada 1636, lalu di Birmingham yang kemudian menjadi pusat
industri benda-benda serupa.
Lain Eropa lain AS. Di wilayah temuan Kolumbus itu
peniti pertama kali dibuat di Rhode Island, di masa revolusi kemerdekaan AS
(1776) oleh Jeremiah Wilkinson. Penitinya memang masih sederhana, dengan bentuk
kepala berupa pelintiran dua kawat.
Baru tahun 1824 Lemuel W. Wright dari New Hampshire
membuat mesin pencetak peniti berkepala utuh. Setelah diperkenalkan di Inggris,
mesin itu pun dipatenkan. Namun, mesin itu terbilang sangat sederhana karena
tidak mampu memproduksi peniti secara keseluruhan. Memang, hingga tahun
1830-an, umumnya peniti masih dibuat dengan tangan. Tepat tahun 1832 John
Ireland Howe, dokter dari Rumah Sakit Belleveu, New York City, menyempurnakan
mesin pembuat peniti. Malah setahun berikutnya ia mendirikan perusahaan di kota
yang sama. Enam tahun kemudian perusahaannya dipindah ke Derby, Connecticut,
hingga kini.
Tahun 1835 dr. Howe mendirikan perusahaan lain. Selama
dalam pengawasannya hingga 1865, banyak perkembangan dan kemajuan tercapai. Di antaranya
dengan menggunakan mesin peniti karya Samuel Sloccum – warga Connecticut yang
amat terampil – yang terus mengalamai pengembangan hingga tahun 1843. Malah akhirnya,
Howe dan Slocum tercatat sebagai pemilik bersama hak patennya.
Pada akhir abad XIX industri peniti menjadi demikian
besar. Saat itu sebagian besar produksi dunia dipasok dari bisnis peniti di
Amerika. Bayangkan, di awal tahun 1900-an saja dengan jumlah warga sebanyak 75
juga, Amerika mengkonsumsi 60 juta gros peniti setiap tahun, atau sekitar 113
peniti per orang.
Selama bertahun-tahun kemudian dikembangkanlah
bermacam-macam peniti hias, lebih kompleks dari sekadar peniti penyemat
pakaian. Salah satunya bros yang lahir tahun 1800-an. (Dari pelbagai
sumber/Sht)
Sejarah dan asal usul peniti ini adalah tulisan dalam rubrik Usut Asal,
majalah Intisari, Desember 1998