Banyak cara untuk menyampaikan pesan terbuka. Salah satunya lewat
poster. “Papan” pemberitahuan ini biasanya dicetak di atas kertas atau karton. Umumnya
dipajang di tempat ramai agar menarik perhatian khalayak ramai. Pejalan kaki
dan pengendara mobil. Bisa ditempel di tembok, billboard, kios, bahkan sekarang banyak dipasang di badan kendaraan
umum. Pesannya cukup singkat dan bergambar. Supaya mudah dipandang dan
dipahami, serta gampang diingat.
Pada awalnya poster berupa maklumat atau semacam surat
edaran yang ditulis di atas panel kayu atau tembok. Itu terjadi di Yunani dan
Italia. Kapan persisnya, kurang jelas. Yang pasti poster yang berkembang
sekarang tak lepas dari poster kuno yang ditemukan oleh Aloys Senefelder, di
Munich pada tahun 1798.
Akhir 1800-an, pelukis Henri de Toulouse-Lautrec dan
Alphonse Mucha membuat poster dan direproduksi pada batu litograf. Poster pertama
Toulouse-Lautrec dikerjakan tahun 1891. Kopian karyanya kini dinilai tinggi
oleh kalangan kolektor dan museum seni.
Berdasarkan alirannya, antara lain dikenal poster
seni, yang dikembangkan oleh seniman abad-19. Poster komersial (iklan), dan
poster yang lebih menonjolkan kreativitas perancang grafisnya. Tentang poster
seni, Jules Chéret
adalah pionir poster litografis berwarna, pada era 1866, di Paris. Gabungan teknik
ilustrator buku dan gaya lukisan dinding, dengan bahasa yang visual populer. Teknik
litografi memungkinkan poster warna dibuat dalam jumlah banyak dan murah. Pada abad
itu, poster seni juga berkembang di AS.
Dunia perposteran terus berkembang. Begitu pula
tujuannya. Bukan semata-mata sebagai sarana promosi produk, layanan, dan
hiburan. Tidak jarang juga digunakan sebagai sebagai sarana propaganda. Sampai-sampai
pemerintah Perancis melarang pemasangan poster atau sejenisnya tanpa izin, pada
tahun 1633.
Era perang pun ikut mempengaruhi isi poster. Muncullah
poster PD I berisi kampanye bantuan perang dan mendesak pendaftaran dinas
militer. PD II menginspirasi poster patriotik.
Poster propaganda kembali mendominasi. Pada 1920-an,
propagandis politik menampilkan teknik baru. Poster revolusioner bangsa Rusia
tampil berupa komik strip dipadu dengan seni rakyat biasa. Poster propaganda
antiperang ataupun antikemapanan dari generasi lebih muda muncul tahun 1960-an.
Awal 1900-an muncul poster bergaya satir, kritikal, dan bawah tanah buatan kaum
hippi.
Industri perfilman mempengaruhi dunia poster. Bioskop
ikutan memasang poster film. Gambarnya menarik dengan judul besar. Abad ke-18
dan 19 seniman di Cina dan Jepang membuat poster bioskop yang meriah di atas
papan kayu dengan teks dan ilustrasi berwarna. Pada 1940-an, poster bioskop
didominasi warna mencolok.
Lantas muncul poster komersial (iklan) yang dapat
dipindah-pindah, semisal poster 1477 buatan William Caxton, di Inggris, sebagai
papan reklame buku. Tahun 1940-an, billboard
menggantikan peran poster ukuran kecil.
Sejak 1910 hingga akhir 1930-an, muncul perancang
poster bergaya realisme. Seniman Italia, Leonetto Cappiello memelopori gaya
ini. Di Jerman, ada Lucian Bernhard dan Ludwig Holwein. Ada pula yang bergaya
kubisme.
Belakangan, model poster semakin beragam. Ada poster
soal lingkungan, ekologi, kesehatan, dan isu politik, serta kampanye politik. Motif
dan rancangan grafisnya pun bergaya kontemporer. Tahun 1980-an, poster tentang
AIDS karya Keith Haring tampil dengan gaya lucu (kartun). Sebagai kampanye
kelaparan dunia, pengarang dan ilustrator buku anak-anak Maurice Sendak membuat
poster seorang bayi duduk tersenyum di antara bunga matahari, tahun 1991.
Tak ketinggalan Organisasi Pembebasan Palestina
(PLO), tahun 1989, menyewa Daniel J. Walsh, distributor poster dari Kuba, untuk
menyebarkan pesan secara lebih efektif kepada publik AS melalui seni poster
politik. Awal 1990-an, poster propaganda politik dan poster iklan dirancukan
oleh billboard kontroversial, yang
memuat foto jurnalistik seorang korban AIDS yang meninggal dan pengungsi
Albania.
Ingin cepat populer, bisa lewat poster. Asalkan bukan
yang bertuliskan WANTED ...! (Rye)
Asal usul poster ini adalah tulisan dalam rubrik “Usut Asal” Majalah
Intisari, Maret 2002