Andai komedian terkenal Charlie
Chaplin masih hidup dan ikut mengamati perkembangan politik di Indonesia, ia
pasti tersenyum bangga. Ucapannya berpuluh-puluh tahun silan, “Cuma badut yang
bisa membuat manusia terbang ke awan, bukannya para politikus tukang berantem,”
mulai terbukti kebenarannya.
Tapi,
omong-omong, pernah dengar enggak, profesi badut sebenarnya tak kalah tua
dengan kemampuan manusia berpolitik praktis. Konon, sejak zaman Yunani dan
Romawi Kuno, sudah ada manusia penghibur yang memoles wajahnya dengan bedak
tebal dan berpakaian aneh, serta fasih memperagakan mimik-mimik lucu.
Mereka tak
hanya membuat tertawa orang-orang kaya yang stres lewat pertunjukan. Tapi juga
menghibur dan mencari nafkah di jalan-jalan alias ngamen. Dengan kemampuan
berpantomim dengan gerakan-gerakan slapstik yang konyol, boleh jadi merekalah
salah satu penjaja hiburan jalanan tertua di dunia.
Belakangan,
istilah badut sendiri melebar kemana-mana. Lihat saja, hampir semua pelawak dan
pemancing tawa kini juga kerap dijuluki sebagai badut. Bahkan orang serius yang
sedang bertingkah laku konyol pun dikatai badut (he...he...he). Ya, sebagai
istilah, badut memang mengalami perluasan makna.
Tapi kalau
melihat sejarahnya, badut mengacu pada seseorang yang punya dandanan lucu
(kadang meniru karakter komik). Selain itu, didukung make up tebal cenderung menor, hingga kostum berwarna norak nan
unik. Ditambah kemampuan memperagakan mimik lucu dan gerakan-gerakan konyol,
tanpa sedikit pun melepas kata-kata. Inilah yang membedakannya dengan pelawak
konvensional.
Di Abad
Pertengahan (sekitar tahun 500 M hingga 1.500 M) contohnya, tersebutlah
karakter badut yang sangat terkenal. Masyarakat Eropa, khususnya Italia,
mengenalnya sebagai arlecchino atau harlequin; yang dipopulerkan kelompok
sandiwara commedia del l’arte. Kostum
yang digunakan pun masih sangat sederhana, belum se-ngejreng sekarang.
Sedangkan
busana badut seperti yang dikenal sekarang, sesungguhnya hasil perkembangan
kostum yang pernah populer di Jerman dan Inggris, sekitar abad ke-18. Kala itu,
dandanan dan gaya pantomim Pickellherring begitu terkenal. Cirinya, baju dan
sepatu gombrong (kebesaran), penutup
kepala warna-warni, serta renda besar yang melingkar di seputar leher sang
badut.
Pada abad
ke-18 ini pula, badut mulai menjadi bagian penting dari pertunjukan sirkus.
Maklum, atraksi sirkus biasanya dipenuhi adegan-adegan akrobat yang
menegangkan. Nah, kehadiran mahluk aneh pemancing tawa diharapkan bisa
mengendurkan kembali urat saraf yang meregang. Hingga saat ini, aksi para badut
tetap menjadi mata acara yang ditunggu-tunggu.
Joseph Grimaldi berpakaian badut |
Salah satu
pelopor pemakaian kostum badut modern, sekaligus bintang sirkus di awal abad
ke-18 M, adalah karakter Jocy yang diciptakan Joseph Grimaldi. Konon, kelebihan
Jocy yang membuatnya dikenang dalam sejarah perbadutan adalah kemampuannya
menghidupkan tokoh badut yang diperankan. Jocy tidak sekadar melucu, tapi juga
memainkan perasaan penontonnya, lewat mimik sedih, bahkan ketakutan.
Menjelang era
perfilman modern, karakter badut mengilhami banyak tokoh bisnis hiburan.
Komedian Charlie Chaplin dan Buster Keaton misalnya, mengadopsi spirit para
badut dalam semua film bisunya. Mulailah perkembangan era baru perbadutan, dari
awalnya mengamen di jalan, menjadi bagian tak terpisahkan dari bisnis hiburan.
Kini,
badut-badut bisa dengan mudah ditemukan di berbagai tempat hiburan. Tentu,
dengan beragam aksesori tambahan yang bikin geregetan. Semisal hidung bulat bak
tomat, atau topeng meniru karakter komik tertentu. Uniknya, dengan tujuan
selama berabad-abad lamanya tak pernah berubah, untuk memancing tawa dan
menghibur siapapun yang memandangnya.
Barangkali
benar kata penulis lagu beken Amerika, Cole Porter (1893-1964), “All the world loves a clown.” Ya,
sepertinya memang tak seorang pun di muka Bumi ini yang tak suka badut. Tak
salah kalau dia layak diberi gelar warga favorit dunia. (Icul/dari berbagai
sumber)
Tulisan tentang asal usul badut ini berasal dari kolom “Usut
Asal”, Majalah Intisari, September 2001, hlm. 64-65.