Istilah heliotherapy dicetuskan oleh orang Yunani kuno untuk menyatakan
pengakuan mereka akan pentingnya sinar matahari bagi kehidupan. Melekat dalam
ide heliotherapy itu adalah
kepercayaan bahwa sinar matahari memiliki kekuatan untuk terapi dan
penyembuhan.
Ternyata kepercayaan
itu tetap hidup di abad ke-20. Selama itu pula belum ada yang mempertanyakan
tentang pentingnya pembatasan paparan radiasi matahari, misalnya, dalam
proses-proses biologi, seperti produksi vitamin D, dan fenomena psikologis,
seperti depresi serta gangguan emosional akibat perubahan musim. Juga tidak ada
yang mempertanyakan gangguan yang bakal muncul akibat paparan sinar matahari
dalam jangka panjang.
Sampai tahun
1920-an, terapi matahari dikenal secara luas. Di Jerman, misalnya, tentara yang
terluka dalam PD I dan pulang untuk tujuan penyembuhan di rumah akan menjalani
helioterapi. Dia barangkali akan berusaha “menangkap” sinar matahari dalam
jumlah jauh lebih banyak ketimbang kebanyakan kita di masa kini.
Orang pada
masa itu mestinya cukup dipengaruhi beberapa penemuan ilmiah tentang sinar UV
di tahun-tahun menjelang PD I, yakni Niels Finsen yang sukses menangani TBC
kulit dengan radiasi sinar UV. Berkat temuan itu Finsen memperoleh Hadiah Nobel
di tahun 1903. Selain itu, selama PD I dokter bedah militer menggunakan sinar
matahari untuk melakukan disinfeksi dan penyembuhan luka para tentara di klinik
terapi sinar matahari di Black Forest, atau institusi yang sama di Pegunungan
Alpen, Swiss.
Dalam dekade
itu pula dua selebriti Perancis menjadikan tanning
(penggelapan warna kulit) sebagai gebrakan mode. Coco Chanel, perancang
terkenal, kembali ke Paris setelah berpesiar di atas kapal Duke of Westminster dengan
warna kulit gelap. Ini memberikan pengaruh besar pada publik.
Ditambah lagi
warna kulit alami yang coklat dari penyanyi Josephine Baker membuat wanita di
seluruh dunia mencoba menyamai warna kulitnya. Pakaian renang yang semula
didesain untuk menutupi kulit, mulai dibuat semakin terbuka. Kosmetik berubah
dari putih menjadi agak gelap (beige).
Selama tahun
1930-an paparan sinar matahari sudah dijadikan ukuran kesehatan publik. Pada saat
itu penyakit-penyakit macam TBC dan rickets
(keadaan akibat kekurangan vitamin D) umum terjadi di kota-kota industri Eropa
dan Amerika Utara. Maka, pemaparan sinar matahari pada seseorang yang dianggap
rentan terhadap salah satu penyakit sudah bisa diterima. Jadi, sinar matahari
digunakan untuk mencegah dan menyembuhkan penyakit.
Para arsitek
pun memperkenalkan desain bangunan yang memungkinkan sinar matahari masuk ke
dalamnya untuk mencegah infeksi. Melihat sinar matahari mampu membunuh bakteri,
mereka mendesain rumah sakit dan klinik untuk terapi sinar matahari.
Namun, paparan
berlebihan dari sinar matahari ternyata memberi pengaruh buruk terhadap
kesehatan kulit. Anak cucu para tawanan kriminal Inggris yang dibuang ke
Australia dan penduduk Australia dari Eropa misalnya, diketahuio memiliki
tingkat tertinggi kanker kulit dari populasi yang diketahui. Di negara benua
itu mereka mendapat paparan sinar matahari secara berlebihan. Maka, tidak
sampai tahun 1970-an dan 1980-an, kepedulian terhadap kanker kulit mulai
menyeimbangkan pentingnya pelindung kulit. Sampai 1979, USA Food and Drug
Administration (Badan POM-nya Amerika Serikat) menyimpulkan bahwa tabir surya
dapat membantu mencegah kanker kulit. Orang Amerika, paling tidak, tetap
ambivalen tentang matahari dan kulit mereka. Tanning di dalam ruangan semakin populer meskipun tingkat kanker
kulit bertambah. Maklum saja, bahkan sampai akhir 1990-an kebanyakan orang
Amerika tetap merasa bahwa orang terlihat lebih sehat dengan warna kulit yang
gelap (coklat).
Bagaimanapun,
mulai diketahuinya dampak buruk paparan sinar matahari yang berlebihan telah
membuat kekuatan penyembuhan dengan sinar matahari sempat dilupakan. (Dari
pelbagai sumber/Gde)