Ceplukan kita sebentar lagi mungkin menjadi mata dagangan komersial.
Soalnya, buahnya sudah jadi santapan eksotis di kalangan eksekutif Prancis. Tony Luqman Lutony menuturkannya lebih
lanjut untuk kita.
Buah itu hanya
disantap kalangan eksekutif di hotel berbintang dan restoran besar sebagai les fruit murs yang rasanya khas. Para
penikmat yang akan mencicipinya di hotel dan restoran terpaksa antre. Setelah
makan buah ceplukan, baru mereka dihidangi salad,
roti, keju, daging, dan makanan lainnya.
Prancis ternyata mau bersusah-susah mendatangkan buah itu dari Benin
dan Pantai Gading, Afrika Tengah. Di sana tanaman itu sudah lama dibudidayakan
dan tidak lagi dianggap sebagai gulma seperti di Indonesia, tapi komoditi
komersial. Dengan kenyataan ini, tentunya ada peluang bagi negara lain
(termasuk Indonesia), untuk mengusahakan ceplukan sebagai komoditi ekspor.
Ternyata tidak hanyaorang Prancis yang menyukai buah ini, tapi orang
Eropa lainnya, Amerika Serikat, Kanada, Jepang, Korea Selatan, dan Taiwan juga.
“Siapa pun yang berhasil mendahului mengadakan terobosan ekspor bagi
buah ceplukan ini, pasti untung besar!” tutur Ir. Agung Nugroho, M.Sc. dalam
tabloid mingguan Agrobis. Sebagai
dosen spesialis gulma di Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya, ia sedang
meneliti kemungkinan pembudidayaan ceplukan sebagai tanaman holtikultura baru
di Indonesia.
Sampai sekarang, buah ceplukan memang belum bernilai komersial. Tapi di
sekitar Blitar, buah itu sudah masuk pasar, meskipun tidak setiap hari ada,
karena minimnya produksi.
Mirip Lentera
Tanaman ini tumbuh liar di lahan kosong, pekarangan rumah, atau di
tempat lain yang tanahnya tidak becek, baik di dataran rendah maupun tinggi, di
berbagai pelosok sampai ia diberi segudang nama daerah. Ciciplukan dan nyor-nyoran
di Bali dan Madura. Cecenetan di Jawa
Barat, ceplukan di Jawa Tengah, dan
masih banyak lagi nama daerah lainnya.
Sebagai herba menahun, tanaman dari suku terung-terungan Solanaceae ini tumbuh tegak, bercabang
cukup banyak, dan berambut pendek. Kalau tumbuhnya terlalu subur, sering
cabangnya tidak mampu menahan beban daun dan buahnya yang bergelantungan banyak
sekali, sampai mudah patah.
Bunganya yang muncul di ketiak daun berwarna putih kekuning-kuningan.
Dari bunga ini kemudian tumbuh buah yang bentuknya mirip lentera, menggantung
dengan warna hijau muda. Apa yang tampak dari luar itu sebenarnya hanya kulit
buah yang agak transparan. Di dalamnya mula-mula masih berongga, tapi kemudian
terisi oleh bulatan buah yang sebenarnya berupa berry (buah buni). Buah dalam kulit ini bisa dimakan, kalau
kulitnya sudah menguning layu. Mula-mula terasa agak getir, tapi kalau memang
sudah masak akan terasa manis agak keasam-asaman. Enak juga, tapi kalau dimakan
terlalu banyak, bisa menyebabkan orang yang bersangkutan mabuk.
Penyelamat prajurit Romawi
Dalam buku Plantes Medicinalis
dua pakar botani Prancis, Volak dan Jiri Stoduca, dikisahkan bahwa ceplukan
sudah dikenal oleh orang Romawi zaman kejayaan mereka menjajah bangsa-bangsa
Timur. Dalam pertempuran di Iran Selatan, banyak prajurit Romawi yang menderita
luka parah karena senjata tajam. Untuk mengobati luka itu, mereka memakai
tanaman obat tradisional yang terdapat di sekitar daerah pertempuran. Salah
satu di antaranya ialah ceplukan itu yang ternyata mujarab sekali. Daunnya
setelah dilumatkan ditempelkan pada luka, dan orang yang bersangkutan juga
memakan buahnya. Lukanya cepat sembuh.
Mereka begitu kagum akan kehebatan khasiat tanaman itu, sampai mereka
menyebutnya physalis (penyelamat).
Kata itu kemudian dijadikan kata sandi bagi pertempuran berikutnya.
Sejumlah tanaman dan buahnya dibawa pulang ke Roma, sampai kemudian
menjadi tanaman obat terkenal di seluruh dunia zaman itu. Sampai sekarang,
tanamannya menyandang nama marga Physalis.
Berdasarkan hasil analisis berabad-abad kemudian, ternyata buah tanaman
itu mengandung vitamin C yang relatif tinggi. Lebih tinggi daripada buah
anggur. Diduga, itulah biang keladi penyebab daya penyembuhan luka yang begitu
besar, seperti yang dialami para prajurit Romawi di pertempuran Iran dulu.
Mudah ditanam
Buah yang hanya sebesar biji lengkeng itu berisi biji puluhan butir,
yang kira-kira sekecil biji terung ranti atau leunca, Solanum nigrum.
Di Indonesia terdapat tiga jenis. Physalis
angulata di daerah Jawa Barat, Physalis
minima di Jawa Tengah dan Timur (keduanya tumbuh di dataran rendah sampai
ketinggian 1.500 m di atas permukaan laut), dan Physalis peruviana asal Peru, yang didatangkan ke daerah pegunungan
Jawa, dan tumbuh di tanah setinggi 1.200-2.300 m di atas permukaan laut.
Untuk mengebunkan tanaman ini tidak begitu sulit, karena ia dapat
ditanam di atas segala jenis tanah, dan tempat. Di pekarangan rumah, tegalan,
tepi kolam, dalam pot. Apalagi di sawah kering musim kemarau. Ditanam sebagai
palawija seperti kedelai, ceplukan pun mau saja. Biasanya ia juga tumbuh alami
di sela-sela barisan tanaman kedelai. Diduga, karena ia memanfaatkan nitrogen
hasil perolehan bakteri yang mondok dalam bintil akar kedelai.
Pembibitan ceplukan dilakukan dengan menyemai bijinya dari buah yang
sudah masak benar. Biji ini dilarutkan dulu dalam larutan asam sulfat encer
(0,1 ppm) agar lendir biji itu hilang dulu, lalu dikeringkan. Baru ia disemai
di atas tanah pesemaian standar seperti yang dipakai pada penyemaian biji
tanaman hortikultura lainnya.
Sesudah tumbuh menjadi tanaman lengkap yang berakar, berbatang, dan
berdaun, bibit dipindahtanamkan ke tempat penanamannya yang tetap.
Beberapa penulis (antara lain Boorsma, De Clercq, Filet, Ridley, dan
masih banyak lagi yang lain), menyebutkan sederet khasiat akar, daun, dan buah
ceplukan sebagai obat tradisional, tetapi peluang ekspor yang nampak nyata
terutama sebagai buah segar bervitamin C untuk desert hidangan hotel berbintang dan restoran mahal di Prancis dan
Eropa. (SS)
TANAMAN ASING YANG DIBAWA-BAWA
Terna semusim
yang tingginya hanya 10-80 cm ini tumbuh di Indonesia sebagai tanaman asing
asal Amerika tropika. Ia didatangkan oleh orang Spanyol pada zaman penjajahan
abad XVII, ketika orang VOC masih merajalela bersaing dengan orang Spanyol dan
Portugis menjajah bangsa kita.
Diduga yang berkenalan pertama kali dengan tanaman bawaan ini ialah
orang Maluki (yang menyebutnya daun boba),
dan Minahasa (yang menyebutnya leletokan),
karena merekalah yang pertama kali dilanda penjajah Spanyol dari Filipina.
Dari Maluku, ada yang kemudian mengenalkannya ke Jakarta (sebagai cecenet), Jepara (sebagai ceplukan), Bali (keceplokan), dan Lombok (dededes).
Dari Jakarta baru diperkenalkan ke Sumatra Timur (sebagai leletop).
Jenis yang mula-mula datang ialah Physalis
angulata dan Physalis minima,
yang kemudian tumbuh merajalela sebagai gulma di ladang kering, kebun
buah-buahan, di antara semak belukar, dan di tepi jalan.
Bersama dengan itu dimasukkan pula sebagai tanaman hias Physalis peruviana dari daerah
pegunungan Peru. Berbeda dengan jenis angulata dan minima, cepluka Peru ini berupa terna menahun yang bisa hidup lebih
dari satu musim. Ia mudah dibedakan dari jenis yang lain karena bunganya
mencolok sekali lebih besar, dengan bintik-bintik coklat tua. Karena besarnya
inilah ia di daerah Parahyangan disebut cecenet
badag, dan cecenet gunung (karena
hanya mau tumbuh di pegunungan).
Oleh orang Belanda pegunungan zaman dulu, buah itu selain dimakan segar
juga dijadikan selai yang enak untuk mengisi roti bakar.
Physalis peruviana kemudian
ada yang dibawa oleh orang Belanda VOC ke Eropa, tapi tidak diakui sebagai
ceplukan Peru, melainkan Kaapse kruisbes (atau
cape goosberry). Mereka mengira bahwa
tanaman ini hidup asli di Kaap de Goede Hoop (Tanjung harapan) di ujung selatan
Afrika, tempat mereka mendirikan benteng persinggahan dan pelabuhan istirahat
bagi kapal kayu mereka yang hendak mengisi bahan makanan dan air tawar, guna
perjalanan berikutnya.
Sampai sekarang jenis peruviana ini
masih terkenal sebagai cape goosberru.
Dengan nama ini, buah asam manis itu kini juga nenjadi favorit orang Amerika. Tapi
mereka sendiri mampu menghasilkannya sebagai tanaman hortikultura rakyat di
negeri mereka sendiri. (SS)